Kamis, 21 April 2011

Yang Datang dan Yang Pergi


Yang Datang dan Yang Pergi
Oleh: Dra. Eulis Anggia Budiarti, M. Pd.
P
etir terasa menyambar di atas kepalaku, badanku lemas. Gundukan tanah merah ini menjadi saksi yang datang dan yang pergi silih berganti. Air mataku telah habis untuk sebuah kesepian yang tiada ujung.
Lonceng pulang telah berbunyi. Aku berkemas-kemas membereskan buku-buku yang berserakan di atas meja. Anak-anakpun mulai ribut bak sarang tawon berkemas-kemas pulang. Terdengar lantang sang ketua kelas menyiapkan.
“Siap grak, berdoa dimulai” sejenak kelas terasa sunyi .
“Selesai. Beri salama!!” ketua kelas kembali memberi perintah.
”Terimakasih bu” suara koor anak-anak bergema. Kembali kelas ribut bak sarang tawon.
”Ya, selamat siang!” aku ke luar kelas, diiringi anak muridku. Itulah pekerjaan rutinitasku.
Hujan mengguyur kota Jayapura takhenti-henti sejak seminggu yang lalu. Guru-guru yang membawa payung satu-satu telah meninggalkan sekolah. Tinggal aku dan pace Jarius pejaga sekolah. Sekolah sepi, aku mulai cemas. Wah bagaimana kalau hujan tidak juga berhenti.
”Ibu tidak bawa payung?” pace Jarius memecah kesunyian, karena dari tadi aku hanya diam mematung menatap tetesan air hujan.
”Tidak” jawabku singkat.
”Mau kupinjamkan payung?” tawarnya hati-hati.
”Tidak terima kasih” jawabku singkat pula.
”Hari mulai sore, nanti ibu kemalaman. Sepertinya hujan enggan reda.” pace Jadius mulai mencemaskanku.
”Ibu jalanyah!” aku berkemas meninggalkan sekolah, ketika kulihat hujan mulai mereda.
”Ya bu, hati-hati!” jawabnya mencemaskanku. Tapi aku tidak perduli. Aku lari-lari kecil menerobos rintik hujan yang mereda.
”Sore bu guru, baru pulang yah!” sapa Joy supir bis sekolah dengan mulut merah penuh ludah pinang, ketika berpapasan di gerbang sekolah.
”Yah!” jawabku takperduli.
”Mari saya antarbu, kebetulan kita sejalankan!” tiba-tiba pak Aris menghampiriku dengan motornya. Oh dia belum pulang juga rupanya, dimana tadi, gumanku dalam hati.
”Tidak trimakasih” jawabku sambil terus berjalan.
”Hari sudah mulai sore bu, mobil ke Waena sudah mulai jarang, apa lagi ke Expo mungkin sudah tidak ada lagi ojek. Mari saya antar!” ajaknya sekali lagi.
”Saya jalan saja pak.” tolakku seramah mungkin.
”Kalau begitu biar saya jalan di samping ibu.” katanya lagi dengan sopan.
”Tidak usah pak. Bapak punya keperluan lain. Silahkan duluan.” jawabku tak acuh.
”Tidak bagus, gadis secantik ibu menunggu mobil sendirian di sini. Biar aku tunggu sampai ibu dapat mobil yah!” pintanya memohon.
Aku diam saja tak menjawab, dan rasanya tak perlu juga aku menjawab. Aduh mobil tak kunjung datang. Aku mulai gelisah. Kulihat jam dipergelangan tanganku. Wow sudah jam 5 sore. Sebentar lagi azan magrib.
”Sebentar lagi magrib yah bu, kalau taxsi tak kunjung datang mari saya antar.” tawarnya.
  Aku masih tak menjawab.
”Tiga-tiga!” tiba-tiba sebuah mobil taxsi putih melintas. Uh tiga lagi. Kuacungkan jari telunjukku yang berati satu.
”Satu Expo bang”, pintaku pada supir taxsi agak memelas.
”Maaf mace, penumpang di dalam suh ada ke Perumanas tiga.” jawab supir.
  Aku kembali mematung menanti taxsi berikutnya lewat.
”Ibu, mari saya antar, kita kan sejalan. Hari menjelang magrib. Nanti ibu terlambat shalat magrib.” kata pak Aris menambah kegelisahanku.
Tiba-tiba mobil taxsi putih melintas.
”Satu Expo!” pintaku. Taxsi berhenti, pak supir membukakan pintu.
”Alhamduliliah gumanku dalam hati. Akhirnya ada juga taxsi ke Expo.” aku masuk. Kulihat dari kaca spion pak Aris menjalankan motornya dan berlahan-lahan mengikuti mobil taxsi yang kunaiki.
Sudah cukup lama pak Aris mendekatiku, kalau tidak salah semenjak aku mengajar di SMAN 1 Jayapura ini. Dia sangat sopan dan perhatian. Bukan aku tidak mengerti perhatian-perhatiannya. Namun aku memang tidak membutuhkannya. Aku sudah terbiasa hidup sendiri sejak kecil. Sejak aku mengerti hidup, aku hanya sendiri. Sepi adalah teman setiaku. Ayah dan ibuku entah dimana. Yang aku tahu sejak kecil sampai sekolah dasar aku dirawat kakekku. Kakekku sangat memperhatikan dan melindungiku. Apa-apa yang kuminta selalu dipenuhinya. Kami saling menyayangi, karena kami hidup hanya berdua. Aku kurang mengerti mengapa saat itu pigur nenek tidak ada dalam kehidupan kami. Kakek tidak pernah bercerita tentang nenek dan sepertinya kakek tidak suka bila kutanya tentang nenek.
Menurut cerita kakek pula, ayah dan ibuku meninggal dalam perjalanan pulang naik haji. Kata kakek, ayah dan ibuku sangat menyayangiku. Tapi menurutku tidak. Nyatanya mereka meninggalkanku, saat aku sangat membutuhkan mereka.
Kakekku seorang peneliti, beliau sering pergi ke luar kota untuk urusan penelitiannya. Otomatis aku sering ditinggal sendiri dan aku selalu merasa kesepian. Ketika aku SMP, kakekku meninggalkanku untuk selama-lamanya. Aku sangat terpukul, tidak ada lagi orang yang menyayangiku. Satu-satu mereka meninggalkanku.
Saat itu, oleh teman kakekku aku dititipkan dipanti asuhan. Aku tidak dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan panti, semua kurasa asing dan menyiksa bathinku. Aku selalu menyendiri dan semakin sepi. Karena aku merasa setiap orang yang menyayangiku pasti akan pergi membiarkanku sendiri, sepi dan merana. Lama-lama aku akrab dengan kesendirian. Aku merasa tidak membutuhkan teman. Apapun dapat aku lakukan sendirian. Aku merasa pertemanan hanya akan menimbulkan kesedihan dan luka.
Pertama kali aku mengajar di SMAN 1 Jayapura, pernah aku akrab dengan seorang murid dari Nabire namanya Kiten. Kedekatanku padanya karena didorong oleh naluri seorang pendidik dan tanggung jawab wali kelas. Kiten selalu menyendiri tidak pernah ribut atau bercerita dengan teman lainnya. Dia duduk paling pojok. Suatu waktu kudekati dia ketika ia duduk menyendiri di ruang kelas, sementara teman-teman sekelasnya ribut ke luar kelas beristirahat.
”Kiten, kamu tidak ke luar istirahat?” sapaku pelan.
”Tidak ibu, saya sedang mengerjakan tugas Biologi.” jawabnya sangat sopan untuk ukuran siswa model sekarang.
”Ini PR? Mengapa tidak kau kerjakan di rumah!” kataku agak menegur.
”Maaf ibu, saya tidak punya waktu kerja PR di rumah.” jawabnya pelan.
”Mengapa? Kerjamu main yah!” selidikku.
”Tidak ibu, pulang sekolah saya kerja cari uang untuk makan dan uang sekolah.” jawabnya masih dengan nada sopan.
”Oh, maaf. Ayah dan ibumu?” tanyaku menyelidik.
”Orang tuaku di Nabire. Saya sendirian di Jayapura, untuk sekolah di sini.” katanya.
”Di Jayapura kau tinggal di mana?” tanyaku kemudian.
”Saya buat gubuk-gubuk di lereng gunung dekat UNCEN atas.” jawabnya.
”Apa orang tuamu tidak kirim uang sekolah?” tanyaku hati-hati.
”Tidak ibu, orang tuaku miskin. Beliau bukan pegawai, tapi petani kecil.” jawabnya.
”Loo, kok kamu bisa ke Jayapura. Butuh biaya banyak tuh dari Nabire ke Jayapura. Malah harus naik pesawat kan? Kamu banyak uang dong?” candaku.
”Tidak ibu, waktu itu saya jual babi untuk naik pesawat.” jawabnya.
”Ok, kamu selesaikan dulu PR Biologimu, nanti pulang sekolah kamu temui ibu yah!” kataku sambil meninggalkan kelas.
Semenjak itu aku akrab dengan Kiten. Aku mengagumi kegigihannya mengejar ilmu. Dengan kondisi pas-pasan dan serba keterbatasan Kiten selalu datang ke sekolah tepat waktu. PR yang kuberikan selalu dikerjakan walaupun banyak kelirunya, maklum waktu belajar tersita untuk bekerja. Baju seragam yang dikenakan hanya satu-satunya. Maka aku sering melihatnya kumal dan berbau. Uang sekolah selalu ia bayar walau terlambat dan mencicil. Sebagai wali kelas aku tidak tega melihatnya. Maka kubebaskan dia dari membayar uang sekolah.
Pada suatu sore Kiten datang ke tempat kosku.
”Ibu, ibu su bayar saya pung uang sekolah. Apa yang bisa saya kerjakan untuk ibu.” katanya.
”Tidak ada Kiten, yang ibu mau kamu belajar dengan baik saja.” jawabku.
”Aduh ibu, saya rasa tidak enak. Biar saya babat rumput di depan rumah ibu, kah.” katanya sambil mulai membabat rumput di depan rumah kosku yang memang tidak terurus.
”Kiten hari ini kau ada PR tidak? Sebaiknya kau kerjakan PR saja.” jawabku tidak enak.
”Kebetulan tidak ada ibu.” jawabnya.
Semenjak itu, tiap bulan Kiten datang ke rumah kosku untuk membabat rumput dan memelihara halaman rumah. Dia tanamin dengan bunga-bunga yang katanya cantik. Sambil bekerja Kiten selalu bercerita tentang kampung halamannya. Adat suku bangsanya dan bahasa daerahnya. Itu yang membuat kami semakin akrab.
”Ibu, waktu saya taman SMP, bapakku bilang. Kau mau sekolah ke SMA atau sekolah  ilmu-ilmu gaib.” katanya mulai bercerita lagi.
”Loo, emangnya ada sekolah ilmu-ilmu gaib.” kataku tak percanya.
”Yah ada bu. Kalau kita pilih sekolah ilmu gaib. Kita diantar ke gunung. Di sana ada gurunya. Tapi saya pilih SMA aja, karena saya ingin jadi pegawai negeri saja. Kalau jago ilmu-ilmu gaib, paling kita diangkat jadi panglima perang di kampung. Ah tetap saja sengsara bu.” jelasnya polos.
”Masih ada panglima perang di Nabire? Sekarang tuh zaman sudah merdeka.” kataku.
”Perang suku masih ada bu. Lucunya kalau perang, panah diluncurkan ke atas tidak ke pihak lawan. Kalau kebetulan kena, nah itu lawan emang pung dosa besar. Makanya kena jubi. Ha ha ha.” katanya lucu.
”Kok lucu yah begitu. Bagaimana mau kena kalau panah diluncurkannya ke atas.” kataku.
”Yah, begitulah hukum perang di Nabire.” katanya pula.
Biasanya kami bercerita seru sepanjang Kiten mengerjakan kebun. Namun pada suatu sore, dia datang tergesa-gesa tidak seperti biasanya.
”Ibu, saya bawa singkong dan petatas, ini hasil kebunku. Tapi saya tidak bisa kerja kebun hari ini. Badanku panas meriang.” katanya sambil menggigil. Muka Kiten tampak pucat.
”Badanmu panas Kiten, kau sakit malaria yah.” kataku cemas. Jidatnya ragu-ragu kuraba.
”Iya bu, dari kemarin sore, badanku tidak enak, maaf yah saya tidak bisa kerja.” jawabnya.
”Sudah, kau tidak usah pikir itu. Tunggu ibu ganti baju dulu. Kita kedokteryah.” kataku sambil masuk rumah.
Aku bawa Kiten ke dokter praktek. Dari hasil pemeriksaan darah Kiten terkena malaria tropika positif 3. Dokter menganjurkan untuk dirawat.
”Kiten, kamu harus dirawat, biar ibu yang tanggung biayanya.” jawabku. Kiten hanya diam.
Manusia hanya berusaha, Allah yang menentukan. Kiten muridku juga sahabatku satu-satunya dia pergi untuk selama-lamanya setelah dua hari dirawat di rumah sakit. Kembali aku sendiri.
”Ibu turun dimana?” supir taxsi mengagetkanku.
”Up, maaf di expo, gapura.” jawabku terkejut.
Mobil yang kutumpangi berhenti tepat di depan gapura expo. Aku turun dan membayar ongkosnya. Untuk sampai ke rumah kosku, aku harus naik ojek ke Gg Gelanggang 2. Jika belum terlalu sore aku biasa jalan kaki. Tapi ...
”Ibu, mari saya antar, kita kan tetangga.”  tiba-tiba pak Aris sudah ada di sampingku.
”Trimakasih, saya jalan kaki saja.”  jawabku sambil melangkah.
Pak Aris jalan mengikutiku sambil menuntun sepeda motornya. Aku merasa risi dan malu.
”Bapak duluan saja.” kataku sedikit membentak.
”Saya tidak tega lihat ibu jalan sendirian, ibu mau diboncengkan?.” katanya memohon.
Aku tak menyahut. Cepat-cepat aku melangkah, tampaknya hujan mau turun lagi. Pak Aris mengikuti terus. Akhirnya hujan turun lagi.
”Ayo ibu naik, hujan turun lagi.” katanya memaksa.
Tidak ada pilihan, aku naik diboncengnya. Dia menjalankan motor dengan hati-hati. Namun hatiku takut akan kesepian lagi.
”Sudah sampai bu, cepat keringkan badan ibu. Minum air hangat supaya tidak kena flu.” katanya.
”Yah, trimakasih.” kataku. Aku ganti pakaian, cepat-cepat kukeringkan badanku dengan handuk dan kubuat teh manis untuk menghangatkan tubuhku yang mulai menggigil. Yah begitu saran pak Aris.
Bada isya hujan turun semakin deras. Sambil menunggu kantuk aku membaca beberapa ayat suci Al’ quran.  
”Banjir banjir, bu... bangun bu.... banjir.” suara orang teriak-teriak di luar.
Aku kaget terjaga dari tidur. ”Astagfiruloh halazim, sudah berapa jam aku tertidur di kursi.”
”Banjir banjir, buka pintunya bu, air masuk ...” kembali suara orang teriak-teriak.
Ya Allah ternyata air sudah masuk ke dalam rumahku menggenangi lantai. Basah karpet rumahku, lemari bukuku terendam. Wah baju-baju yang belum sempat kubenahi kini hanyut. Gelas dan piring plasti bekas makan tadi malam kini mengapung menuju ke arahku. Ya Allah ternyata memang banjir. Tiba-tiba ”gedubrak ....” pintu dibuka paksa dari luar. Pak Aris menyeretku ke luar.
”Banjirbu, cepat-cepat kita harus mengungsi. Tanggul di atas roboh.” katanya menjelaskan.
”Ayo pegang pundakku, arus kencang sekali, nanti ibu terbawa arus.” perintahnya.
Aku tidak berkata apa-apa selain mengikutinya.
Banjir besar melanda daerah Expo. Katanya tanggul  raksasa jebol. Masyarakat hiruk pikuk menyelamatkan diri.  Anak-anak berteriak mencari orang tuanya. Orang tua ada yang mencari anaknya, ada pula yang berusaha menyelamatkan harta bendanya. Orang-orang berlarian menuju tempat yang tinggi. Suasana hiruk pikuk dalam kegelapan. Listrik padam karena tiangnya roboh diterjang banjir, bulanpun tidak muncul. Air semakin naik sepinggang, sedada, seleher.
”Ibu kita naik benteng ini. Kita harus menuju tempat yang tinggi.” kata pak Aris. Aku mengangkuk lemah. Badanku menggigil kedinginan, kepalaku pening. Dipegangnya tanganku erat-erat. Ada tenaga yang mengalir lewat tangannya. Aku harus selamat. Tiba-tiba benteng yang kami naiki ambruk. Kami terpelanting, aku terbawa arus banjir.
”Ya Allah aku tidak bisa berenang, selamatkanlah aku.” rintihku. Aku mulai terasa badanku hanyut terbawa arus. Beberapa teguk air banjir terminum. Tenggorokan dan mata terasa pedih. Dalam kegelapan aku tidak dapat melihat apa-apa, selain air di sekelilingku. Aku enggan berteriak minta tolong. Karena kata-kata itu tidak pernah aku ucapkan, selain doa pada Allah. Tiba-tiba tanganku diraih.
”Ibu harus kuatnya, kita akan selamat, pegang pundakku.” suara pak Aris berbisik tepat di sampingku.
”Alhamdulilah.” hanya kata itu yang mampu aku ucapkan. ”Bruk...” sisa-sisa benteng menimpah kami.
”Ya, Allah.” aku dan pak Aris berteriak kaget. Cepat-cepat aku menghindar. Tapi kepala pak Aris tertimpa beton. Kepalanya mengeluarkan darah. Tampa sadar kuraih kepalanya dan kubalut dengan baju hangatku. Entah kekuatan darimana munculnya. Aku membopongnya dan menarik menuju tempat yang tinggi. Di sana sudah banyak orang-orang yang menyelamatkan diri. Aku mencari tempat yang aman dan kubaringkan pak Aris di situ.
Hari mulai siang, ketika regu penyelamat muncul dengan membawa bantuan makanan dan obat-obatan alakadarnya. Aku hanya terpaku memandang pak Aris yang memucat. ”Ya Allah, aku takut kehilangannya. Jangan ambil dia dari sisiku, ketika aku mulai memiliki sahabat.” doaku dalam hati.
Tiem medis dari regu penyelamat menuju ke arahku, dan memeriksa kondisi pak Aris.
”Ibu, istrinya?” tanya dokter.
”Bukan, saya teman gurunya.” jawabku gemetar.
”Ibu, kondisi bapak kritis, kami harus bawa ke rumah sakit.” kata dokter.
”Aku boleh ikut dok?” tanyaku memohon.
Kami membawa pak Aris ke rumah sakit  terdekat. Sepanjang jalan aku hanya memandanginya. Dia sempat memegang tanganku, kemudian pingsan sampai di rumah sakit. Dokter membawanya langsung ke ruang UGD.
”Ibu, ada keluarga terdekatnya pak Aris di sini?” tanya tiem medis yang merawat.
”Maaf, saya tidak tahu dok. Setahuku dia kos di sini. Mungkin atasanku tahu.” jawabku.
”Dia harus segera dioprasi. Tulang kepalanya retak. Surat pernyataannya harus segera ditandatangani keluarganya.” jelas dokter.
Ya Allah, aku menjerit dalam hati. Dia celaka ketika berusaha menolongku. Apa yang harus aku lakukan. Apakah aku harus menandatangani surat pernyataan itu. Tapi bagaimana kalau ada apa-apa, nanti aku disalahkan keluarganya.
”Bagaimana, ibu mau menandatangani suratnya.” kembali dokter menanyaiku.
”Dok, saya bukan keluarganya, saya takut kalau ada apa-apa, nanti saya disalahkan.” kataku.

Aku berusaha menghubungi kepala sekolah. Sekali, dua kali, tiga kali, tidak juga nyambung. Akhirnya aku membuat keputusan.      
”Dok, bisa aku menemuinya.” kataku.
”Silahkan, tapi jangan diajak bicara dulu.” kata dokter.
Aku masuk ruangannya, kulihat dia terbaring lemah. Kuhampiri dan kugenggam tangannya. Dia membuka matanya dan tersenyum, bibirnya bergerak-gerak, namun tidak ada suara yang keluar. Kuanggukan kepalaku dan kularang dia bicara. Tangannya memegangku erat sekali sambil tersenyum dan takbergerak selamanya.
Petir terasa menyambar di atas kepalaku, badanku lemas. Gundukan tanah merah ini menjadi saksi yang datang dan yang pergi silih berganti. Air mataku telah habis untuk sebuah kesepian yang tiada ujung.

Kenangan untuk seorang sahabat

Tidak ada komentar: