Selasa, 19 April 2011

Terjadinya Pohon Kelapa di Asmat


LEGENDA TERJADINYA POHON KELAPA
DI DAERAH ASMAT

Cerita rakyat berasal dari Folklor suku Asmat
Ditulis Oleh: Dra. Eulis Anggia Budiati Guru SMAN 1 Jayapura


I
ni adalah kisah asal mula terjadinya pohon kelapa di daerah Asmat. Orang mungkin tidak tahu ada kisah sedih dibalik besarnya manfaat pohon kelapa.
Kisah ini berasal dari sebuah kampung yang terletak di hilir sungai Fait dari pantai Safan, hiduplah sepasang suami istri yang berbahagia. Suami bernama Biwiripit sedangkan istrinya bernama Teweraut. Mereka memiliki seorang anak tunggal yang sangat dikasihi dan dicintainya bernama Cipriw. Karena Cipriw merupakan anak tunggal, maka dia sangat dimanja, namun sayangnya sangat penakut. Sifat penakut Cipriw inilah yang menggoreskan kisah tragis yang dalam.

Pada suatu hari yang cerah ketika mereka duduk-duduk dekat tungku sambil membakar sagu dan daging kasuari hasil buruan Biwiripit.
“Cipriw, kau anak laki-lakiku satu-satunya, kau tra boleh panakut. Kau sudah besar, kau harus ganti bapak menjaga mama, menjaga kampung, dan  kau juga harus menjadi pemburu yang tangguh di kampung ini.” Begitu Biwiripit mulai menasihati Cipriw.
“Cipriw kan masih kecil, jadi masih penakut tra apa-apa.” Tiba-tiba Teweraut membela.
Cipriw hanya diam saja sambil tidur-tiduran dipangkuan ibunya.
“Cipriw sudah besar, dulu aku juga sebesar itu sudah belajar berburu, buat panah sendiri, belajar mengukir patung, dan aku disuruh tidur di rumah jew dengan laki-laki lain oleh kakekmu Cipriw. Nah, kamu mulai besok tidurlah di rumah jew dengan bapak. Jangan kau bermanja-manja terus di ibumu.” Biwiripit menasihatinya lagi.
“Biarlah untuk beberapa hari lagi, Cipriw belum cukup besar untuk tidur di rumah jew.” Kembali Teweraut menjawab.
“Itulah, kau selalu membelanya terus, makanya Cipriw penakut terus.” Biwiripit agak marah, kemudia ia meninggalkan istri dan anaknya untuk tidur di rumah jew –rumah panjang tempat berkumpul dan tidur para lelaki dewasa, disebut juga rumah bujang--.

Hari mulai malam para lelaki dewasa di kampung ini selalu berkumpul di jew, sedangkan istri-istri mereka, anak-anak wanita dan anak laki-laki yang masih kecil tidur di rumah mereka masing-masing. Cipriw si penakut selalu tidur dekat ibunya membungkus diri dengan tapin --tikar-- yang terbuat dari daun pandan.

Rumah tinggal mereka jauh dari jew --rumah tinggal para bujang--. Di antara jew dan rumah tinggal mereka tumbuhlah sebatang pohon ucuw --beringin--. Semua penduduk kampung sangat menyakinin bahwa di dalam pohon ucuw tinggallah sepasang roh yang baik. Mengapa baik, karena roh tersebut tidak pernah mengganggu penduduk kampung. Bahkan roh di pohon ucuw tersebut sering memberi pertolongan pada seisi kampung. Apalagi jika penduduk kampung yang meminta sesuatu, sudah pasti roh di pohon ucuw akan mengabulkan permintaan tersebut.

Namun sayang Cipriw, anak tunggal Biwiripit dan Teweraut sangat takut kepada roh baik yang ada di pohon ucuw itu. Setiap kali hendak masuk ke dalam jew Ciprit selalu berlari dari rumah kemudian masuk ke dalam tapin. Hal ini terjadi baik pada waktu pagi hari maupun siang hari, terlebih pada waktu malam hari.

“Tewe, mulai besok anak kita harus tidur di rumah jew. Kamu tidak boleh melarangnya. Kalau kamu menahannya terus, artinya kamu melanggar adat. Kamu tahukan akibatnya kalau kita melanggar adat.” Kata Biwiripit tegas.
“Aku tahu, tapi anak kita ini sangat penakut. Apalagi jika harus melewati pohon ucuw di depan jew itu.” Kata Teweraut.
“Justru karena penakut itulah, dia harus belajar jadi pemberani. Di rumah jew anak kita akan mendapat pelajaran dari tua-tua adat supanya menjadi pemuda yang gagah berani.”
“Saya malu jika punya anak penakut.” Kata Biwiripit menambahkan lagi.
“Yah, terserah kamu lah.” Teweraut akhirnya mengalah.
“Nanti malam saya akan ajak Cipriw tidur di jew, awas kamu tidak boleh menghalangi-nya lagi! Paham Tewe!”
Teweraut hanya mengangguk, dia tidak bisa membantah lagi. Karena dia tahu hukum adat di kampungnya memang begitu. Jika dia membantahnya, maka dia akan di hukum juga anaknya. Tanpa bicara lagi, Teweraut ke dapur untuk menyalakan tungku. Dia akan membuat sagu dan daging bakar untuk bekal Cipriw di jew.

M
ulai hari itu, Biwiripit sudah melarang Cipriw tidur dengan ibunya, sebagai anak yang sudah cukup umur Cipriw sudah harus tidur di rumah jew bersama laki-laki dewasa lainnya. Namun sayang Cipriw selalu tidur lebih awal dari teman-temannya. Ketika gelap mulai turun Cipriw berbaring lebih dulu sambil membungkus diri di dalam tapin, ia tidak berani tidur sendiri, selalu diantara orang banyak.

Karena ia selalu tidur lebih awal, maka ia hampir tidak pernah mengikuti pelajaran yang diajarkan tua-tua adat pada malam hari menjelang tidur sambil duduk-duduk melingkari bara api di tengah-tengah jew. Saat-saat seperti itu, ketua adat akan bercerita tentang kejayaan-kejayaan nenek moyang mereka dalam peperangan, menceritakan dongeng-dongeng atau legenda-legenda rahasiah tentang nenek moyang yang tidak boleh tersebar kepada suku lain. Di rumah jew pula orang-orang tua mengajarkan orang-orang muda tentang teknik berperang, merencanakan pembalasan kepada suku lain atau pengayauan –pembalasan dengan membunuh lawan--. Sekali-kali mengajarkan anak-anak muda tentang tatacara memahat patung, membuat patung embis, membuat panah dan bagaimana cara menggunakannya. Pendek kata di dalam jew anak muda diajar agar tumbuh menjadi pemuda yang tangguh, gagah berani dan siap melindungi kampungnya bila diserang oleh kampung lain. 

Ternyata kelakuan Cipriw yang selalu tidur lebih awal karena takut kepad roh yang tinggal di pohon ucuw tidak luput dari perhatian roh tersebut. Roh ucuw terus mengamati tingkah laku Cipriw si penakut. Entah karena apa, roh ucuw yang baik itu sangat jengkel dan merasa tersinggung dengan kelakuan Cipriw. Roh itu tidak habis pikir mengapa Cipriw sangat takut padanya, sementara penduduk kampung yang lainnya sangat menghormati dan mengaguminya sebagai roh yang baik. Roh yang selalu mengabulkan segala permintaan mereka.
“Kenapa anak ini selalu takut kepada saya, padahal penduduk kampung yang lain mengangap aku sebagai roh baik. Aku selalu mengabulkan permintaan mereka. Awas suatu saat nanti akan saya ambil dan akan saya bunuh.” Begitu kata roh ucuw dalam hatinya.

M
ata pencaharian penduduk kampung hilir sungat Fait adalah berburu ke hutan. Banyak binatang buruan di belantara hutan Asmat. Hasil buruan mereka lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga mereka. Begitu pula, setiap hari ayah Cipriw, Biwiripit sangat sibuk berburu babi, kasuari, dan binatang hutan lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Setiap kali Biwiripit berburu, ia selalu membawa Cipriw, dengan maksud agar Cipriw mau melihat dan belajar bagaimana cara berburu yang baik. Namun sayang karena Cipriw penakut, maka ia tidak mau berburu jauh-jauh dari ayahnya. Ia selalu berada tepat di belakang ayahnya. Kemana ayahnya melangkah, Cipriw selalu mengikutinya.
“Cipriw coba kau halau babi yang ada di sebelah kanan.” Perintah Biwiripit.
“Aduh bapak jangan kah, saya kan takut kalau harus jalan sendirian ke sana. Di hutan ini pasti banyak roh.” Kata Cipriw ketakutan.
“Cipriw, kalau kau terus-terusan penakut begini, bagaimana kau bisa jadi pemuda yang gagah berani.” Kata Biwiripit mulai marah.
“Tapi bapak, saya memang takut, saya tidak berani ke sana sendirian.” Kata Cipriw. Ia merasakan kakinya mulai kaku, dia tidak mampu lagi mengangkat kakinya. Dia gemetar, dan akhirnya jatuh pingsan ketakutan.
Melihat kondisi anaknya yang jatuh pinsan ketakutan, Biwiripit pun tidak berani memaksa anaknya lagi untuk pergi berburu sendirian. Bagaimana pun Biwiripit teramat kasih kepada anak tunggalnya itu.

Setiap kali pulang berburu, bapaknya selalu membawa barang buruan ke rumah jew terlebih dahulu. Cipriw selalu berlari cepat-cepat memasuki jew, ia takut melewati pohon ucuw yang ada rohnya. Cipriw akan cepat berlari, kemudian menyembunyikan dirinya di dalam gulungan tapin. Begitu setiap kali ia lakukan. Sementara roh ucuw terus mengamatinya. Roh ucuw semakin tersinggung dan marah melihat tingkah laku Cipriw. “Awas, kalau beberapa hari lagi, Cipriw masih tetap takut padaku, akan saya bunuh.” Begitu roh ucuw merencanakan suatu pembunuhan.
“Tapi sebaiknya akan aku beri peringatan terlebih dahulu.” Bisiknya dalam hati.

Hingga pada suatu malam yang sunyi roh ucuw masuk ke dalam jew, dengan hati-hati ia mengambil Cipriw beserta tapin yang melingkarinya tempat Cipriw menyembunyikan dirinya dari roh ucuw. Cipriw dibawanya ke tepi pantai Safan dan meletakannya begitu saja bersama tapinnya di pinggir pantai. Roh ucuw pun kembali ke pohon ucuw.

Keesokan pagi ketika mentari mulai akan menampakkan dirinya Cipriw terjaga karena merasa kedinginan ditiup angin laut yang menerpa dirinya. Ketika betul-betul ia terjaga, Cipriw merasa sangat terkejut dan heran bukan kepalang, karena mendapatkan dirinya telah berada di tepi pantai, bukan di dalam jew, tempat ia biasa berbaring menjelang tidur bersama teman-teman dan bapaknya. Melihat kenyataan ini, Cipriw sangat ketakutan. Ia lari terbirit-birit kembali ke dalam jew dan membangunkan bapak dan teman-temannya yang masih terlelap dalam mimpi masing-masing. Namun, bapak dan teman-temannya tidak ada yang terjaga, mereka masih lelap. Karena mereka tidur sangat larut malam. Tadi malam mereka asik mendengarkan cerita tentang pengayauan yang dilakukan nenek moyangnya dalam pembalasan ke kampung sebelah. Akhirnya Cipriw membungkus dirinya kembali dengan tapin seperti semula.

Roh pohon ucuw melihat bahwa Cipriw telah kembali dengan selamat. Roh ucuw pun sangat geram.
“Oh, awas Cipriw, kali ini aku akan membunuhmu.” Begitu bisiknya dalam hati.
Maka roh ucuw pun segera masuk ke bawah kolong jew dengan membawa panah. Dengan penuh amarah roh ucuw menusuk Cipriw dengan anak panah tepat di pelipis kiri tembus hingga ke pelipis kanan. Seketika Cipriw si penakut itupun tewas. Roh ucuw pun tidak mencabut anak panah itu, sehingga Cipriw terkapar dengan anak panah tetap menancap pada pelipisnya.

Sementara hari semakin siang, sinar mentari terang benderang menyinari perkampungan hilir sungai Fait. Semua orang yang tertidur di jew telah terjaga dari mimpinya. Mereka mulai sibuk dengan aktifitas masing-masing, ada yang mengasah panah, ada yang membuat bara api untuk membakar daging babi sisa malam tadi, ada yang mengambil air, ada pula yang mulai memahat menyelesaikan ukiran patung bis pesanan keluarga yang meninggal. Di antara kesibukan itu yang terlihat hanya Cipriw yang belum terjaga. Maka salah seorang membangunkan Cipriw tanpa membuka tapin yang membungkusnya terlebih dahulu.
“Cipriaa…!! Cipriaa…!! Buyumbutita….!! Cipriw bangun sudah!” Teriaknya.
Tidak ada jawaban.
“Cipriaa…!! Buyumbutita …! Cipriw eee bangun sudah!” Kembali ia berteriak sambil mengguncang-guncang Cipriw.
Cipriw tetap terbaring tak bergerak.
Sekali lagi Cipriw dibangunkan. “Buyumbutita…!! Buyumbutita..!1 Cipriaa…!! Bangun sudah!” Begitu ia berteriak membangunkan Cipriw.
Tetapi tidak ada tanda bahwa Cipriw mendengarkan suara itu. Isi tapin tetap membisu dalam kaku yang dingin.
Temannya merasa heran dan penasaran, tidak biasanya Cipriw tidur sampai sesiang ini. Biasanya Cipriw bangun lebih awal dari teman-temannya, karena ia berbaring lebih awal pula. Maka dengan rasa penasaran dibukalah dengan segera tapin Cipriw.
“Roh yang agung, tolong…!!” Ia berteriak terkejut dan sangat ketakutan ketika mengetahui Cipriw telah terbujur kaku tanpa nyawa dengan anak panah menembus pelipis kiri hingga tembus pelipis kanan.  
“Tua adat…bapak…teman-teman, tolooong…. Cipriw telah meninggal.!” Dia melolong berteriak sekencang-kencangnya memanggil tua-tua adat, bapaknya Cipriw dan teman-temannya yang ada di jew.
Sekali lagi ia berteriak memanggil-manggil orang-orang yang ada di jew untuk menyaksikan keadaan Cipriw.
Orang tua Cipriw yang sudah ada di rumahnya dipanggil. Keduanya dengan tergesah-gesah pergi menuju jew. Mereka mendapai anak tunggalnya sudah terbujur kaku meninggalkan semua yang dicintainya dengan cara mengenaskan. Meledaklah tangis Biwiripit dan Teweraut meraung-raung, mereka berguling-guling melumuri diri dengan lumpur. Demikian pula dengan penduduk seisi kampung larut dalam duka teramat dalam. “Ini pembunuhan yang menuntut balas dalam pengayauan.” Begitu bisik hati mereka. Hari itu merupakan hari bergabung bagi Cipriw yang malang.

M
elalui proses adat, senjapun datang menghampiri. Matahari tergelincir di langit sebelah Barat, seolah-olah dalam cahaya pucat yang suram ikut berduka bagi Ciprim yang mati mengenaskan.
Ciprim diantar ke tempat pembaringan, kemudian dikuburkan di jewsen -- di depan jew – dengan anak panah yang masih tetap tertancap di pelipis kirinya yang menembus pelipis kanan. Panah itu tidak dicabut terkubur besama jasad Cipriw yang malang.

Pada malam hari ketika kampung telah sunyi, tiba-tiba timbul keajaiban yang kelak akan mengukir sejarah, sebuah legenda telah hadir. Tumbuhlah sebatang pohon aneh tepat di atas kuburan Cipriw. Pohon tersebut tumbuh sangat subur dan berbuah sangat lebat. Batangnya besar dan kokoh, buahnya pun besar-besar.
Keesokan harinya, ketika orang-orang terjaga, mereka sangat heran dan saling bertanya satu sama lain akan tumbuhnya pohon aneh di atas kuburan Cipriw.
“Teweraut, lihatlah keajaiban apa yang terjadi di atas kuburan anak kita.” Kata Biwiripit sambil menunjuk pohon aneh.
“Entahlah Biwi, akupun tidak tahu.” Teweraut pun sangat bingung.
“Apakah ini berarti roh nenek moyang kita telah menerima Cipriw di alam sana? Tewe.” Kata Biwiripit meminta persetujuan istrinya.
“Yah Biwi, Cipriw adalah anak yang baik, pasti nenek moyang menerimanya.” Teweraut mempertegas pendapat suaminya.
“Kira-kira apakah nama pohon ini?” Tiba-tiba penduduk kampung bertanya-tanya.
“Entahlah, pohon ini aneh, seumur hidup aku baru melihatnya.” Seorangtua adat menjawabnya.
“Apakah orang dapat memakan buahnya?” Pertanyaan lain muncul.
“Tidak tahu juga. Pohonnya saja baru kita lihat.” Seseorang menjawab dari belakang.

Pagi itu juga semua candiwis dan puwas – ipar-ipar dan menantu – berkumpul di depan jew mengelilingi pohon aneh yang berbuah dengan lebat. Seseorang yang berani memetik buah itu, lalu dikupas kulitnya. Air yang berada dalam buah itu awalnya diberikan kepada seekor anjing untuk memastikan apakah air buah itu dapat diminum atau tidak. Ternyata anjing yang meminum air buah itu tidak mati. Maka penduduk kampung bersepakat bahwa air buah itu dapat diminum oleh manusia. Begitu pula dengan daging buah itu dicobakan kepada anjing. Karena anjing tidak mati, maka semua penduduk kampung akhirnya memetik buah itu dan memakannya. Namun tak seorangpun tahu apa nama pohon aneh itu.

Ketika mengupas kulit buah, mereka mengamati isi di dalamnya. Tampaklah seperti garis mata, mulut serta bekas hidung Cipriw. Mereka berkeyakinan bahwa pohon ini jelmaan dari Cipriw.

Suatu hari orang tua Cipriw, Biwiripit dan teweraut bermimpi. Dalam mimpinya ia mendapat pesan untuk menamakan pohon itu jisin, yang artinya pohon kelapa, adapun buahnya bernama akyamanmak, artinya buah yang berasal dari orang mati.
Paginya Biwiripit dan Teweraut mengabarkan kepada seluruh kampung.
“Saudara-saudaraku penduduk kampung, tadi malam kami bermimpi yang sama.” Begitu Biwiripit mulai bicara.
“Apa yang ada dalam mimpimu Biwi.?” Seorang penduduk kampung menyela dengan tidak sabar.
“Dalam mimpi, kami mendapat pesan bahwa pohon aneh berbuah lebat yang tumbuh di atas kuburan Cipriw haruslah diberinama jisin – pohon kelapa --. Sedangkan buahnya bernama akyamanmak, artinya buah yang berasal dari orang mati.” Begitu Biwiripit menyampaikan isi mimpinya.
“Baiklah, mulai sekarang pohon aneh ini kita namakan jisin, dan buahnya akyamanmak. Karena memang dia berasal dari jasad Cipriw.” Kata ketua adat menegaskan.

Sejak itu, pohon aneh tumbuh pada banyak tempat di Asmat, dan orang-orang Asmat menyebutnya sebagai pohob jisin atau pohon kelapa.

Tidak ada komentar: