Kamis, 21 April 2011

Banjir Air Mataku



Banjir Air Mataku

E
     ntah kenapa, setiap kali saya mendengar kata mimpi selalu saja perut ini mual, melilit, sebal dan mual     mau muntah. Aku alergi dengan kata mimpi. Aku benci mimpi. Tapi entah kenapa kata mimpi selalu saja 
terdengar di mana-mana, di rumahku, di rumah pak RT, di rumah pak RW, di kelas, di kantor, di jalan-jalan, pendek kata kemana saya pergi selalu saja orang-orang bicara masalah mimpi, mimpi dan mimpi. Mimpi jadi presiden, mimpi jadi anggota dewan, mimpi dapat jabatan, mimpi jadi orang kaya, mimpi ngantri minyak tanah, mimpi ngantri minyak goreng. Ada juga yang marah-marah hanya karena mimpi tidak dapat jatah beras raskin. Dan herannya, keributan di rumahku selalu saja diawali dengan kata, “aku tadi mimpi…”
          Bu Mer bermimpi lubang kakusnya membludak.
          “Wah, bu Mer bakal dapat rejeki. Selamat, selamat, selamat, ingat nanti traktir aku yah?” Kata bu Ratna sambil mengguncang-guncang tangan bu Mer, taklupa dengan kerlingan licik penuh arti. Yah, maklumlah bu Mer adalah istri pejabat yang boleh dikatakan emang rejekinya selalu membludak. Entah rejeki yang rejeki, entah rejeki dari 10% proyeknya.
           “Benar bu Mer, waktu paitua1 dapat uang kinerja enam juta, bayangkan enam juta rupiah datang ditanggal tua. Tahu ngga, itu karena aku mimpi kakusku membludak.” Bu Sumi menambah data kebenaran tentang mimpi kakus membludak.
          “Kalau saya mimpi dikejar-kejar ular. Ih pokoknya menakutkan. Itu tandanya mau dapat jodoh. Hi hi hi.” Kata bu Tiur sambil cekikikan, satu-satunya teman guru yang masih lajang di sekolah kami.
          Tapi herannya, sebulan setelah bu Tiur mimpi dikejar-kejar ular, sampailah ditanganku surat undangan pernikahannya. Akal sehatku membantah arti mimpi itu. Semua hanya kebetulan saja. Gerutukku dalam hati. Mimpi itu hanya bunga tidur. Apasih hubungannya mimpi dikejar-kejar ular dengan dapat jodoh. Mual, sebal, melilit perutku mendengarnya.
***
          “Ma bangun ma, shalat subuh berjamaah, ayo!” Paitua mengguncang-guncang kasar tubuhku yang masih lemah dan penat, setelah seharian membuat proposal block grant.
           "Iyah, iyah, kenapah sih?” Aku menggeliat malas.
           Tidak seperti biasanya, doa setelah shalat subuh paitua sangat panjang. Mimpi apa dia semalam sampai harus berdoa sepanjang ini. Walau mulai sebal, perut mual, melilit, aku tidak berani mengusik kekhusuan doanya. Apalagi kudengar suaranya semakin lirih dalam isak.
            “Ma, aku mimpi anak kita bermandikan lumpur. Perasaanku tidak enak nih.”
            “Pa, mimpi itu cuma bunga tidur. ”
            “Mimpi yang ini lain ma. Ini semacam pirasat.”
            “Mimpi yah mimpi, pirasat yah pirasat.”
            “Tidak ma, yang ini mimpinya lain. Jangan salahkan papa kalau ada apa-apa dengan anak kita.” Suamiku mulai emosi.
             “Iya, udah nanti pagi kutelepon anak kita.” Kusudahi pembicaraan tentang mimpi. Karena kalau tidak, biasanya berakhir dengan pertengkaran.
              Aku mulai termakan isu mimpi suamiku. Dengan penuh kuatir kutelepon juga anakku yang sedang mondok di pulau Jawa. Melalui pembicaraan ternyata anakku terkena musibah.      Peristiwa anakku kebanjiran adalah biasa, tidak ada kaitannya dengan mimpi suamiku. Sifatnya  kebetulan saja. Sekarang musim hujan, di mana-mana juga kena banjir. Apasih hubungannya mimpi mandi lumpur dengan kebanjiran. Pasti tidak ada. Mimpi itu hanya bunga tidur.
              “Hem, apa kataku, terbukti mimpikukan. Anak kita kena musibah.”
              “Pa, itu kebetulan saja. Wajarkan kalau pondok anak kita kebanjir, karena sekarang musim hujan. Papa dengar sendiri berita-berita di TV semua tentang banjir. Hampir seluruh daerah di pulau Jawa kebanjiran.” Aku bersusaha tidak percaya dengan mimpi.
              “Iya, tapi mimpi papa itu pertanda, kalau anak kita terkena musibah.”
              “Itu kebetulan saja, pa.” Acuh tak acuh aku menjawab.
              “Hati-hati yah, akupun mimpi tentangmu. Mimpiku buruk tentangmu, ma.” Kata suamiku, dengan nada mengancam.
              “Mimpilah, selagi masih bisa bermimpi. Epen lah!” Aku semakin tak acuh.
              “Kuperingatkan sekali lagi, hati-hati, aku mimpi buruk tentang mama.”
Seperti biasa, aku diam untuk menghindari pertengkaran lebih lanjut tentang mimpi.
***


U
jian Nasional yang cukup menegangkan baru saja usai. Sebagai panitia UN, aku dengan teman-teman merasa lega. Persiapan yang ditempuh selama 4 bulan, mulai dari memberi bimbingan intensif, melakukan try out dua kali, telah berakhir tadi siang dengan lancar dan sukses. Aku dan teman-teman panitia seharusnya merasa lega. Tapi penentuan kelulusan yang ditentukan oleh nilai UN ini, membuat kami berharap-harap cemas. Bukan perasaan lega yang kami dapat, tapi kegelisahan dan ketakutan. Akankah anak didik kami lulus 100%. Tapi apa lacur! Ku sms teman-teman panitia.
           “Lihat berita di MetroTV, 17 guru dan kepala sekolahnya di Deli Serdang tertangkap basah sedang memperbaiki LJK siswa. Mereka dituntut 7 tahun penjara.”
           Sms masuk. “Iyah, aduh kasihan, mereka adalah korban sistem.”
           "Tim sukses, yang tidak sukses.” Satu sms lagi masuk.
           “Perbuatan mereka, dosa tidakyah?” Satu sms kukirim.
           “Yah dosa dong, HARAM.” Jawabnya dalam sms.
           “Kalau saya orang tua murid, saya akan berdemo. Mereka harus dibebaskan. Gimana, kita himpun teman-teman atau ketua PGRI untuk berdemo?” Sms lain.
           “Kayanya masalah ini adalah waktu yang tepat untuk menjalankan rencana kita.”
           “Yah, yah aku setuju.” Jawabku dalam bentuk sms juga.
           “Ada apa dari tadi ta tut ta tut bunyi sms masuk.” Suamiku menyela kesibukanku bersms.
           “Yah, biasa sms hallo met malam keteman-teman.” Jawabku menghindar.
           “Lihat berita di Deli Serdang? Jangan berbuat macam-macam.” Ancamnya, seperti tahu rencana apa yang akan kususun.
           “Hati-hati, aku mimpi tidak baik tentangmu.” Katanya sambil berlalu.
           “Mimpi lagi, mimpi lagi.” Tiba-tiba aku jadi sewot dan jengkel.
           “Et hati-hati, aku cuma mengingatkan, mimpiku buruk tentangmu.”
           “Ah, itu cuma mimpi kosong, tidak akan terbukti.” Tiba-tiba emosiku memuncak.
           “Aku mimpi kamu terseret banjir, tenggelam.” Suamiku menegaskan.
           "Aku tidak percanya.” Ego ilmiahku merasuk jiwaku. Tapi terselip rasa takut yang mencekik. Tiba-tiba aku sakit hati dengan mimpi suamiku. Kata mimpi kini berubah,  bukan saja membuatku sebel, mual dan melilit. Namun kini membuatku jadi gelisah.
            Rencana membuka kebenaran telah lama kami susun, cuma belum ada waktu yang tepat. Sebagai ketua tim penggerak hati nurani –begitu kami menyebut tim kami-, aku harus mengatur strategi. Saat itu, kami akan menjadi pahlawan bagi teman-teman guru. Bayangkan sejak hak guru memberikan penilaian akhir dicabut. Sejak itu pula sekolah kami terpuruk. Sejak itu pula sekolah kami mendapat caci maki kepala dinas. Sejak itu pula telinga kami harus kebal. Sejak itu pula kami harus repot menjelaskan kepada bapak ibu wali murid yang datang dengan parang, tombak dan panah, karena anaknya dinyatakan tidak lulus.
            Nilai UN janganlah dijadikan penentu kelulusan. Serahkanlah kepada kami sebagai gurunya, yang telah tiga tahun memesrainya. Kami sudah lama ikhlas dengan gajih kami yang dikebiri. Uang lauk pauk yang lama tidak dibayar. Yang tidak pernah menikmati uang kinerja seperti pegawai lainnya. Yang nasib sertifikasi gurunya masih terkatung-katung, entah dibayar entah tidak. Tapi tolong janganlah hak kami untuk dapat memberikan penilaian terakhir pun dikebiri. 
             Apa yang dapat kami lakukan jika anak didik kami hanya memiliki semangat, tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk bersaing. Mereka sudah cukup bangga bisa pergi ke sekolah. Walaupun mereka cukup repot untuk dapat menyisihkan waktu dari pekerjaan utamanya di ladang dan di kebun. Parang adalah nyawanya, hidupnya. Bagaimana mau kita ganti dengan buku, dengan pinsil, dengan rumus-rumus. Jika untuk mengisi perutnya saja mereka harus berjuang sendiri. Mereka tidak bercita-cita tinggi. Hanya ingin sedikit menaikkan harkat martabatnya sebagai manusia Indonesia yang berpendidikan. Apakah mereka harus jadi korban suatu sistem yang masih banci?     
***
             “Bapak, ibu guru, tolonglah saya!” Suatu hari kepala sekolah mengumpulkan kami.
             “Tahun ini kita harus mampu menaikan jumlah kelulusan.” Lanjutnya.
             “Bapak, kami sudah merencanakan untuk melakukan bimbingan intensif dan melakukan try out.” Wakasek kurikulum menjelaskan.
              “Baik, itu sangat bapak dukung. Tapi adakah cara lain selain itu.”
              “Kita optimis saja, program bimbingan insentif akan berhasil menaikan angka kelulusan.”
              “Baiklah, bapak sangat mendukung. Jangan lupa hasil try outnya sampaikan pada saya.”
              “Pasti bapak.”
Suatu hari, kudengar pembicaraan serius di ruang kerja kepala sekolah.
              “Hasil try out sangat rendah, diperkirakan 30% saja yang dapat lulus.” Seperti suara yang kukenal.
              “Kalau begitu hasilnya, kita siap dicaci maki orang tua murid lagi. Terdengar suara kepala sekolah putus asa.
Bagaimana tidak gagal, banyak orang tua yang protes, karena jam kerja anaknya di ladang berkurang. Wal hasil kegiatan bimbingan intensif hanya diikuti segelintir orang. Apapun bentuknya, pendidikan tidak akan berhasil baik, jika urusan perut belum teratasi.
***
              Kini, aku dan teman-teman tim penggerak hati nurani lainnya menghuni sel tahanan. Mengapa bisa!!
Demo dimulai dengan pembacaan narasi penolakan nilai UN sebagai penentu kelulusan. Isi narasi menyatakan bahwa UN telah banyak menuai kebohongan dan menimbulkan penipuan. Tragedi 17 guru di Deli Serdang tidak akan terjadi, kalau hak guru memberikan penilaian tidak dirampas. Kemudian demo dilanjutkan dengan dramatisasi oleh sebagian guru.
“Coba lihat nilai UN matematika si Mario nilainya 8. Diakan anak yang bodoh dan pemalas.”
            “Yah, nilai UN matematika si Kiten juga dapat 7. Kok bisa yah?”
            “Si Kiten kalau ulangan harian, nilainya tidak pernah melebihi angka 3.”
            "Seharusnya si Kiten tidak boleh lulus. Coba bayangkan, waktu ujian praktek, kami dibuatnya repot.”
            “Repot bagaimana pak Sukar?”
            “Bagaimana tidak repot, 3 kali kuberi dia kesempatan untuk ikut ujian praktek. 3 kali pula dia jawab epenkah2 . Kalau bukan karena bujukan wali kelasnya, malas saya memberi kesempatan keempat.”
            “Nah itulah, dari dulu juga aku tidak setuju, kalau kelulusan ditentukan dengan nilai UN.”
            “Coba lihat nilai UN Marinten, masa dia cuma dapat 5. Dia kan lebih pandai dari Kiten.”
            “Rasanya tidak adil, si Kiten yang bodohnya minta ampun bisa lulus dengan nilai 7. Masa Marinten yang kita tahu kualitas kemampuannya hanya lulus dengan nilai minimal.”           “Sepertinya ada kebocoran soal.”                           
“Yah, yah … soal sudah bocor. Tapi siapa yang membocorkannya?”
            Demo yang tadinya berjalan aman, tertib, tiba-tiba menjadi anarkis. Pembakaran ban-ban sepeda, motor, mobil di mana-mana. Terjadi lempar-lemparan batu, dorong-mendorong antara pendemo dengan aparat keamanan. Aku ikut terseret arus pendemo yang tiba-tiba datang membludak. Akupun heran mengapa jumlah pendemo jadi berlipat-lipat. Terdengar suara yel-yel aneh yang tidak kami rencanakan. Dari mana arahnya, aku tidak tahu persis. Suasana sudah tidak terkendali. Hiruk pikuk tak menentu.
Tiba-tiba suara letusan senjata ditembakan berulang-ulang. Pendemo bubar kocar-kacir menyelamatkan diri. Aku dan tim penggerak hati nurani terpaku ditengah-tengah arus manusia yang melarikan diri. Katanya demo kami ditumpangi. Akhirnya kami diamankan.  
            “Ibu, ibu.” Sipir penjara membuyarkan lamunanku.
            “Suami ibu ingin bertemu, dia menunggu di ruang tamu. Mari saya antar.” Katanya lebih lanjut. Aku mengikutinya hening. Kulihat suamiku bersama anak-anakku telah menunggu. Kakiku tak sanggup lagih melangkah lebih dekat padanya. Perih hatiku, teriris rasa jiwaku, perasaanku turut tercabik-cabik ketika kulihat suamiku, anak-anakku meneteskan airmata untukku.
            “Jangan kau sepelekan arti mimpiku.” Bisiknya pelan ditelingaku.          
Kini mimpi itu menjadi moster yang menakutkan. Tolong selamatkan aku dari banjir air mataku, bajir air mata anak-anakku, banjir air mata ibuku, kakakku, adikku dan tentu banjir air mata suamiku.
                                                           
                                                     Awal bulan Mei 2008
                                      Untuk ke-17 Guru di Deli Serdang. Tabahlah
Keterangan:
1. Paitua                       = suami
2. Epenkah                   = pentingkah

Tidak ada komentar: