Kamis, 21 April 2011

Mimpi-mimpiku


Mimpi-mimpiku Diawal Tahun 2006
Aku Bermimpi Memiliki LPTK Bermutu 
Akubermipi Indonesia akan memiliki Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) bermutu. LPTK sebagai suatu lembaga yang menghasilkan lulusan seorang guru, harus menjadi suatu lembaga ”elit” sehingga menarik calon mahasiswa dari kelompok pemuda bangsa terbaik dan berbakat untuk menjadi guru. LPTK harus dapat menumbuhkan suatu motivasi dan kebanggaan calon guru akan profesinya.
Suatu saat, aku akan memandang dengan takjub ketika putra-putri terbaik berebut untuk dapat terseleksi masuk LPTK seperti berebut kursi di kantor DPR. Tentu amat berbeda antara berebut kursi DPR dengan kursi di LPTK. Masuk LPTK tidak membutukan dana kampaye milyar rupiah, cukup mengandalkan intelektualitas, moralitas dan jiwa profesionalisme.
LPTK harus menyeleksi calon mahasiswa, seperti anggota dewa menyeleksi calon presiden. LPTK harus memiliki kriteria ketat tentang syarat kelulusan seorang calon guru. Sehingga LPTK bukan lagi sebagai lembaga alternatif, karena tidak dapat bersaing di Fakultas Kedokteran atau Fakultas Teknik.  

Aku Bermimpi Memiliki Guru Bermutu
Aku bermimpi suatu saat Indonesia akan kebanjiran guru-guru bermutu. Sehingga kegiatan belajar mengajar menjadi suatu kegiatan yang menarik, kreatif dan inovatif karena ditangani seorang guru profesional. Sebuah peribahasa Jepang mengatakan Sehari bersama guru yang hebat lebih baik daripada ribuan hari belajar dengan rajin.” Peribahasa tersebut akan menjadi kenyataan kelak di Indonesiaku.
Kita boleh bercermin ke negara Jepang ketika Hiroshima dan Nagasaki di Bom atom oleh sekutu. Kaisar Jepang bertanya, “Berapa orang guru lagi yang tersisa?” Kaisar tidak bertanya berapa tentara atau militer lagi yang tersisa, tetapi berapa guru. Hal ini menyatakan bahwa untuk membangun suatu bangsa besar yang dibutuhkan adalah seorang guru yang bermutu.  
Mengapa? Karena guru adalah pekerjaan profesi. Profesi bukan sekedar pekerjaan atau vocation, melainkan suatu vokasi  khusus yang mempunyai ciri-ciri expertise; keahlian; responsibility; tanggung jawab; dan corporateness; rasa kesejawatan. National Education Association (NEA) menyarankan kriteria pekerjaan profesional:
1)      Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.
2)      Jabatan yang manggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
3)      Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama.
4)      Jabatan yang memerlukan ‘latihan dalam jabatan’ yang 
       bersinambungan.
5)      Jabatan yang menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.
6)      Jabatan yang menentukan baku (standarnya) sendiri.
7)      Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
8)      Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
Pernyataan NEA di atas, menjelaskan bahwa kriteria guru adalah seseorang yang memegang jabatan yang intelektual berarti pintar, berilmu pada bidang mata pelajaran tertentu. Oleh karena itu, jabatan guru dinamakan jabatan profesional. Guru yang profesional akan mempersiapkan diri dalam mengajar secara profesional juga.
Aku bermimpim memiliki pendidikan yang baik, yang tentunya berawal dari guru yang baik pula. Guru yang baik tentu profesional. Guru yang profesional tentu memiliki tanggung jawab terhadap profesinya.
Jabatan guru seharusnya bukan jabatan yang terpaksa karena tidak dapat bersaing di lapangan pekerjaan lain. Namun kenyatan yang ada, ketika saya bertanya kepada teman sejawat, “Mengapa anda memilih pekerjaan sebagai guru?” Dia menjawab, ”Saya terpaksa menjadi guru karena tidak lulus di kedokteran.” Aku sangat kecewa mendengar jawaban tersebut. Karena jabatan guru yang kuimpikan adalah suatu jabatan yang diperebutkan oleh anak-anak bangsa yang cerdas, bukan anak bangsa yang kalah bersaing.

Aku Bermimpi Guru Hidup Sejahtera
Aku bermimpi gaji guru sepadan dengan gaji seorang presiden. Seperti halnya di Jepang. Gaji seorang guru satu tingkat di bawah kaisar. Gaji guru bukan lagi gaji si Umar Bakri yang setiap bulan harus mencari tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Aku bermimpi gaji guru di Indonesia sepadan dengan gaji guru di Amerika Serikat yang 2/3 gajinya tersisa setiap bulannya. Jika kesejahteraan guru terjamin, maka guru dapat bekerja secara profesional, yang seluruh waktunya dapat dicurahkan untuk menjadi pendidik.
Suatu pernyataan yang kerap muncul ialah: usaha apa yang paling tepat untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu guru? Apakah melalui penataran, pendidikan penjenjangan atau penyetaraan, pelatihan dan pembinaan? Atau meningkatkan profesi guru dengan meningkatkan kesejahteraannya terutama gaji?
Saya berpendapat peningkatan kesejahteraan gurulah yang paling berpengaruh meningkatkan mutu guru. Besarnya gaji guru akan mengangkat profesi guru sebagai pekerjaan ”elit” yang diburu anak bangsa. Dengan demikian, pemerintah dapat menentukan kriteria khusus bagi calon guru. Kalau boleh guru adalah pegawai kontrak yang dapat diputuskan masa kontraknya jika tidak berkualitas dan profesional.

Aku Bermimpi Pendidikan Indonesia Melimiki Kurikulum Bermutu
Aku bermimpi pendidikan di Indonesia memiliki kurikulum bermutu. Kurikulum yang dapat mencerdaskan intelektual, emosional sekaligus etis-religius. Karena di tengah menurunnya moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, korupsi meraja lela, dan perilaku keseharian yang menyimpang, pendidikan moral yang menekankan dimensi etis-religius lah yang tepat untuk diterapkan.
Kenyataannya, tradisi pendidikan di Indonesia belum menuju pendidikan yang ber-kinerja dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi belum menjadi tujuan pendidikan. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.
Kurikulum 2004 atau KBK atau KTSP telah berusaha menjawab semua permasala-han di atas. Namun, kurikulum 2004 yang ceritanya dapat menghargai semua kemampuan siswa, ternyata tidak 100% diterapkan. Tampaknya pemerintah setengah hati dalam menerapkan suatu pembaharuan. Guru dibuat bingung, siswa apa lagi. Dampaknya pada ujian nasional 2006, angka kelulusan melonjak. Pada tingkat SMA dari 80,76% naik menjadi 92,50%, dan untuk SMK dari 78,29% menjadi 91,00%. Sayangnya hasil ujian nasional yang gilang gemilang didapat dari proses manipulasi guru.
Para guru menyadari risiko atas apa yang dilakukannya, tapi ujian nasional telah merampas hak pedagogis dalam menentukan kelulusan. Gurulah yang mengetahui seluk-beluk mengenai murid, tapi kenapa pemerintah yang memutuskan siapa yang berhak atau tidak berhak lulus dengan hanya ditentukan beberapa mata pelajaran. Campur tangan tersebut jelas menggambarkan rendahnya kadar kepercayaan pemerintah terhadap kinerja guru.
Dasar resentralisasi ujian akhir karena adanya asumsi yang dihembuskan pemerintah, bahwa buruknya mutu pendidikan karena guru dan murid malas belajar. Agar mereka rajin, penentuan kelulusan harus diambil alih. Padahal sebenarnya, pemerintahlah yang gagal dalam menjalankan kewajiban menyediakan layanan pendidikan bermutu. Guru dan murid tidak nyaman menjalankan proses belajar-mengajar.
Melalui kebijakan ujian nasional, daerah dan sekolah dipaksa membenarkan asumsi pemerintah. Padahal kondisi nyata tidak memungkinkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Karena jujur saja pelayanan pendidikan di daerah umumnya masih buruk. Maka untuk mempertaruhkan nama daerah dan sekolah. Guru memilih cara instan, yaitu dengan melakukan manipulasi.
Kondisi tersebut menimbulkan penekanan berjenjang. Pemerintah daerah yang ditekan pemerintah pusat akan menekan sekolah. Sehingga ujian nasional tidak lagi berhubungan dengan kepentingan pendidikan, tapi menjadi alat mencapai kepentingan politik. Yaitu memuaskan kebutuhan pemerintah pusat, juga mengangkat citra daerah karena dianggap berhasil memajukan pendidikan.
Kejadian di atas merupakan bukti nyata kegagalan di dunia pendidikan dalam pembentukan karakter manusia agar hidup penuh kejujuran dan selalu dipandu nurani. Kegagalaan tersebut dapat menjadi salah satu penyebab merebaknya korupsi di tanah air. Karena guru telah menanamkan virus kepada anak didik, bahwa sukses bisa diperoleh dengan cara manipulasi yang seolah sah-sah saja. Peristiwa itu juga menggoreskan catatan seumur hidup di hati anak. Manipulasi hasil ujian nasional telah merobohkan prinsip kejujuran. Akibatnya, jika suatu saat guru mengajarkan nilai-nilai kejujuran, anak akan menilai semua itu bisa ditawar. Singkatnya, secara moral guru tidak lagi punya wibawa untuk mengajarkan kejujuran di mata anak didiknya.
Ketika pendidikan tidak lagi mengutamakan prinsip-prinsip moralitas, maka akan melahirkan generasi yang bobrok dan berpotensial membunuh nalar sehat dan hati nurani. Padahal, seseorang akan merasa lebih berharga saat mampu meraih kebahagiaan bathin, yaitu intelektual, estetika, moral, dan spiritual. Pendidikan yang sehat adalah yang secara sadar membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat lahiriah sampai yang bersifat batiniah dan spiritual.
Produk pendidikan di Indonesia selama ini amat kurang membantu pertumbuhan spiritualitas anak, melupakan akal budi dan emosi. Sehingga anak sulit mengagumi tiupan lembut angin terhadap awan,  tetesan air hujan terhadap bumi, kekompakan hidup dunia lebah yang merupakan ayat-ayat Allah sebagai bahasa alam yang semua itu merupakan bacaan terbuka yang amat indah.
Sebagai bangsa yang menyongsong kemajuan Iptek yang amat pesat, kita masih harus berkutat dengan kualitas pendidikan. Terlepas dari kesahihan standar kualitas dalam Ujian Nasional, hasil yang diperoleh di tingkat SD/MI maupun SMP/MTs menunjukkan kurang dari 60% dari materi yang dikuasai siswa. Hanya 24,12% SMP/MTs yang masuk kategori "sedang" ke atas. 0,03% tergolong "baik sekali" dan 2,14% tergolong "baik".
Terlepas dari berapa persen materi yang dikuasai siswa, sesungguhnya suatu pendidikan dipandang bermutu diukur dari kedudukannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian. Dalam bahasa UNESCO mampu moulding the character and mind of young generation.
Oleh karena itu, masa depan bangsa yang kuimpikan adalah membangun bangsa melalui pendidikan dengan merancang suatu sistem pendidikan demokratis yang mampu menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang menyenangkan, merangsang dan menantang peserta didik untuk mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Atas dasar ini pula, pendidikan yang demokratis, tidak mengenal ujian nasional untuk memilih dan memilah. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan:
(1)  Menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru;
(2)  Menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus-menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar;
(3)   Evaluasi yang terus-menerus, komprehensif dan obyektif.


Aku Bermimpi Pendidikan di Indonesia Dapat Meningkatkan Kesejahteraan 
Berdasarkan buku terakhirnya William Schweke, Smart Money: Education and Economic Development, menjelaskan bahwa pendidikan yang bermutu akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan, keterampilan,  menguasai teknologi, dan juga menumbuhkan iklim bisnis yang sehat bagi pertumbuhan ekonomi.
Pendidikan memberi kontribusi secara signifikan terhadap maju mundurnya suatu negara telah menjadi kebenaran yang bersifat aksiomatik. Investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi negara. Pencapaian pendidikan pada semua tingkat akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sebaliknya, kegagalan dalam membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem mendasar, seperti pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah.
Demi mewujudkan mimpiku, bolehlah Indonesiaku bercermin ke Korea. Peranan pendidikan terhadap pembangunan ekonomi dapat dilihat dari perkembangan ekonomi di Korea. Semula Korea yang secara ekonomi tertinggal, ternyata mampu mengungguli dua negara di Afrika yaitu Kenya dan Zimbabwe.
Yang-Ro Yoon seorang peneliti ekonomi Bank Dunia, dalam Effectiveness Born Out of Necessity: A Comparison of Korean and East African Education Policies, menge-mukakan sejumlah temuan menarik. Pada dekade 1960-an GNP per kapita Korea hanya 87 dollar AS, sementara Kenya 90 dollar AS. Memasuki dekade 1970-an GNP per kapita Korea mulai meningkat menjadi 270 dollar AS, namun masih lebih rendah dibanding Zimbabwe yang telah mencapai 330 dollar AS.
Memasuki dekade 1980-an, pembangunan ekonomi di Korea berlangsung amat pesat. Bahkan antara periode 1980 dan 1996 dapat dikatakan sebagai masa keemasan, negeri gingseng itu mampu melakukan transformasi ekonomi secara fundamental. Pada tahun-tahun itu pertumbuhan ekonomi Korea melesat jauh meninggalkan Kenya dan Zimbabwe.
Keberhasilan Korea dalam membangun ekonomi, kuncinya adalah komitmen yang kuat dalam membangun pendidikan. Berbagai penelitian membuktikan, dasar pendidikan di Korea memang amat kokoh. Pemerintah Korea mengambil langkah-langkah jitu pada tahun 1960-an s.d. 1990-an. Program wajib belajar pendidikan dasar berhasil dituntaskan tahun 1965, sementara Indonesia baru mulai tahun 1984. Wajib belajar jenjang SMP berhasil dicapai tahun 1980-an; dan jenjang SMA secara universal pada periode yang sama. Selain itu, jenjang pendidikan tinggi mengalami peningkatan, lebih dari setengah anak-anak usia sekolah pada tingkat ini telah memasuki perguruan tinggi.
Komitmen Pemerintah Korea terhadap pembangunan pendidikan itu tercermin pula pada  anggaran pendidikan mencapai 15 persen dari total belanja negara, guna mendukung universal basic education maka terus meningkat secara reguler menjadi 23 persen tahun 1971. Setelah program ini sukses, Pemerintah Korea mulai menurunkan anggaran pendidikan antara 14 sampai 17 persen dari total belanja negara. Menyadari bahwa pendidikan dasar merupakan bagian dari public good, maka Pemerintah Korea mengalokasikan anggaran untuk pendidikan dasar jauh lebih besar dibanding tingkat menengah dan tinggi.
Bercermin pada pengalaman Korea, pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah nyata dalam upaya membangun pendidikan nasional. Investasi di bidang pendidikan secara nyata telah berhasil mendorong kemajuan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan sosial. Karena segala permasalahan di Indonesia -- rawan konflik, rawan bencana, rawan kecelakaan, rawan peraturan -- bermuara pada masalah ekonomi dan kesejahteraan yang dirasakan masyarakat atau kasarnya ujung-unjungnya duit. 
Semoga dengan perbaikan dibidang pendidikan dapat mengantarkan bangsa Indonesia ke suatu negara yang diimpi-impikan rakyatnya.  Yaitu, negara Indonesia yang merdeka dari segala bentuk penjajahan dan penindasan, adil, sejahtera lahir batin, aman sentosa, damai, makmur, dan sebagainya dan sebagainya. Semoga aamiin.

Tidak ada komentar: