Minggu, 17 April 2011

Waness Perdamaian Kamumi

WANESS PERDAMAIAN KAMUMI

Oleh: Dra. Eulis Anggia Budiarti, M. Pd.

Guru SMAN 1 Jayapura Papua

K

amumi, janda Sawi yang terpaksa merelakan kepalanya digundul plontos duduk gelisah di atas tikar rumput yang tampak usang dimakan usia. Kamumi tidak peduli, ia duduk serius sambil mempermainkan awer rumput tua pembalut bagian bawah tubuhnya yang entah sudah tahun keberapa tidak digantinya. Sekali-kali terlihat matanya menatap kosong jauh ke luar tsjewi, dahinya berkerut seperti berpikir keras mempertimbangkan usulan pimpinan aipem kampung Sawi yang ditemani wow ipit dan kepala perang kepadanya beberapa hari lalu.

Dalam tsjewi tanpak topeng ifi tergeletak di sudut rumah seolah menatap Kamumi menuntut balas. Ocen dan Yemes yang diukir dengan motif tare, worotamo, far, tuwabok, dan vir kini tak bertuan. Semua selalu mengingatkan Kamumi pada suaminya Kagura.

Diangkatnya jepitan usang pengangkat sagu. Dibolak-balik saja sagu yang dipanggang di atas perapian jowse kendati telah cukup matang untuk diangkat, tampaknya ia masih segan untuk meletakkan sagu bakar di atas an. Dari cela-cela dinding tsjewi yang terbuat dari pelepah sagu, ia dapat melihat dengan jelas Wasio anaknya yang gempal bermiyak sedang asik bermain air di atas perahu yang tertambat di tepi sungai Kroket yang keruh. Sementara itu, pimpinan aipem dan dua pimpinan adat lain masih menanti jawabannya.

Kamumi dilanda gelisah yang amat sangat. Putusannya akan menentukan apakah perang suku yang telah melegenda di antara orang-orang Asmat akan diakhiri atau tidak. Ia akan menjadi pencipta legenda baru bagi orang-orang Sawi.

Kamumi meletakkan kembali jepitan kayu itu. Ia tidak pernah berhenti menyesali kematian Kagura suaminya beberapa tahun yang lalu. Kagura yang mati terbunuh karena penghianatan kaum Wasohwi. Kini, ia diminta untuk melakukan perdamaian dengan penduduk kampung yang telah menewaskan suaminya, yang telah membuat dirinya menjadi janda dan selalu harus melicinkan kepala. “Ah… rasanya tidak mungkin,” Kamumi menggumam dalam hati.

Bagi orang Sawi satu nyawa harus dibayar dengan nyawa. Tapi kini kenapa budaya waness berubah fungsi. Kenapa tiga tokoh adat itu memintanya untuk melakukan tuwi asonai man. Kamumi tidak habis mengerti mengapa ia harus melakukan waness seperti ini, disaat kematian Kagura belum terbalas. Pikirannya yang sederhana tidak dapat menerima perubahan yang tiba-tiba.

***

M

arjun menaiki tangga tsjewi pada pintu milik Kamumi dan duduk di tikar daun yang disediakan untuknya. Ia tampak terlihat ramping, kekar, gagah dengan otot-otot yang kencang. Kalung sudafen yang mengkilat dan gelang dari taring babi melingkar di tangan kanannya, menandakan pemakainya seorang yang ahli berburu, dan mahir bertarung. Tampak pula pisau dari tulang kaki burung piswa dan rahang carawan diselipkan di pangkal gelang tangan kirinya. Bipane dari kulit siput tampak menusuk sekat hidungnya. Marjun menghiasi badannya pula. Muka dan badan dicat dengan kapur putih dan merah, rambutnya diberi bulu-bulu burung, kepalanya diberi kulit kuskus.

Marjun menjadi incaran gadis-gadis belia di kampung Sawi. Semua ibu-ibu di Sawi berharap dapat bermenantukan Marjun. Namun, hanya anak gadis Kamumi lah yang dipilih Marjun. Tentu betapa bangganya Kamumi ketika lamarannya untuk Wasio diterima Marjun. Kini Marjun adalah menantunya yang hidup dalam satu jowse dan satu tsjewi dengan Kamumi. Sesuai dengan sistem kekerabatan suku Asmat . Adat telah mengatur, setelah menikah Marjun berada dalam keluarga Wasio. Perkawinan Wasio dan Marjun diatur orang tua mereka. Peminangan dilakukan kerabat pihak Wasio.

Tiga tokoh adat kaum Sawi duduk di hadapan Marjun untuk mengikat perhatian Marjun. Sementara itu, Kamumi tua, jongkok di depan perapian jowse, sibuk membolak balik sagu panggang. Dekat kaki Kamumi terdapat sagu-sagu yang telah matang dipangggang masih terasa hangat di tangan.

Dibawanya sagu-sagu panggang itu untuk disajikan. Ia jongkok di belakang Marjun. Dengan gerakan yang cepat disentuhkannya sagu bakar ke bagian alat vital Marjun sambil berteriak, “Waness….” Suara Kamumi terdengar gemetar menahan rasa.

Kamumi segera melompat mundur menyingkir dari Marjun, kemudia ia berlutut di hadapat Marjun, dan mengangkat sagu panggang itu ke bibirnya, sambil berkata lantang, “Waness….waness.” Digigitnya sagu itu sebagai lambang budaya waness telah diberlakukan Kamumi pada Marjun.

Mata Marjun yang tajam terbelalak kaget melihat Kamumi menggigit sagu panggang itu. Tubuhnya tiba-tiba terasa mengeras bagai binatang buas yang kena perangkap. Kamumi mertua telah menjebaknya dalam ikatan budaya Sawi.

Melalui tindakan nekad itu Kamumi telah mengubah arah nasib Marjun ke jurusan yang masih asing bagi Marjun juga Kamumi sendiri.Tidak ada pilihan lain bagi Kamumi selain mematuhi perintah ketiga tua adat kampung Sawi yang terus-terus datang memaksanya.

*****

“K

amumi, Tuan pemburu buaya akan datang ke kampung Sawi. Menurut cerita kampung lain, Tuan pemburu buaya memiliki banyak benda-benda aneh yang akan dibagikan kepada kita. Tapi Tuan pemburu buaya tidak menyukai peperangan.” panjang lebar pimpinan aipem kampung Sawi menjelaskan. Kemudian, “Tuan pemburu buaya suka damai…. damai...begitu katanya. Kita harus membuat perdamaian. Perang itu tidak baik.”

“Kudengar Marjun telah menyusun rencana untuk melakukan pembalasan atas terbunuhnya Kagura. Kami bukannya sudah melupakan Kagura. Tentu saja kami masih ikut berduka.” tokoh perang suku Sawi yang harismatik melanjutkan.

“Kamumi, kamu tentunya juga sudah tahu dari cerita orang-orang di kampung sebelah, benda-benda yang dibawa Tuan pemburu buaya. Ada pisau dan kapak yang sangat tajam. Ada kayu yang dapat mengeluarkan api tanpa harus digosok keras-keras. Ada lagi yang namanya cermin. Benda itu bisa memperlihatkan wajah kita lebih jelas dari air sungai Kroket.”

“Nah, Kamumi cegalah menantumu itu agar membatalkan rencana penyerangan ke kampung Wasohwi. Kita lakukan perdamaian dengan menyerahkan anak perdamaian. Kita percikan air sejuk antara kita dan kaum Wasohwi. Begitu perintah Tuan pemburu buaya kepada kami,” lanjut pimpinan aipem.

“Apakah Marjun harus menyerahkan anaknya? Dalam perkawinan mereka, mereka belum memiliki keturunan.” Kamumi menjawab kuatir.

“Bukan-bukan itu. ketua perang siap menyerahkan anaknya untuk perdamaian, asal Marjun mengurungkan niatnya. Nanti, kamu akan dapat pisau, cermin dan korek api dari Tuan pemburu buaya. Oh yah, ada juga yang disebut senter yang dapat menerangi kita waktu malam hari.” kata pimpinan aipem membujuk Kamumi.

“Kamumi, aku siap menyerahkan anakku yang kecil sebagai tanda perdamaian dengan kaum Wasohwi. Bagaimana dengan kamu? Kamumi, kamu harus bisa membujuk Marjun.” kepala perang memintanya dengan tegas. Hanya wo ipit yang diam membisu, pikirannya melayang entah kemana. “Tak ada patung embis yang harus kuukir, dan tak ada lagi pesta ulat sagu,” gumamnya dalam hati.

*****

S

edemikian besar kesan pertemuan pertama pemimpin aipem kampung Sawi, kepala perang dan masyarakat Sawi dengan perahu motor patroli Belanda yang melewati sungai Kroket membawa Tuan pemburu buaya yang telah membagi-bagikan senter, garam dan tembakau sebagai alat kontak. Mereka melewati kampung Sawi, sehingga menjadi bahan percakapan hangat selama berminggu-minggu. Hampir semua orang Sawi membicarakannya. Tidak lama kemudian, kampung-kampung itu mendengar desas-desus bahwa patroli yang sama telah mendirikan pos pemerintahan di tengah-tengah suku Asmat di Pirimapun. Bahkan Marjun pun lupa akan rencana pembalasan dendamnya terhadap orang yang dianggap musuh-musuhnya. Tetapi tidak lama. Ingatan mengenai kedua perahu besar itu mulai pudar. Kerinduan untuk membalas dendam kembali menjadi cita-cita utamanya.

Marjun mengundang Maum, Yosin, dan Kaimu ke rumahnya. Ia mengisi pipanya penuh dengan tembakau, lalu menyalakannya, kemudian mengedarkannya kepada teman-temannya. Itulah cara mengikat persahabatan di antara mereka. Sementara asap tembakau yang bau semerbak memenuhi seluruh yeu. Marjun mulai mengutarakan pikirannya.

“Rupanya Tuan pemburu buaya sudah berada di antara kita, tapi kita belum membalas kematian bapak Kagura. Bagaimana perasaan kalian?’

Teman-temannya membisu dengan perasaan malu karena telah melupakan kewajiban itu selama ini.

Marjun kembali berkata, “Mungkin kalian telah lama melupakan bapak Kagura, tetapi aku tidak dapat melupakannya. Menurut pendapatku, kita harus membalaskan dendamnya, meskipun Tuan pemburu buaya sudah datang!”

Marjun mengisap pipanya, sementara ketiga temannya memperhatikan wajahnya. “Apakah engkau menghendaki kita merampok daerah Wasohwi lagi?” Tanya Maum. “Ah, itu sudah sering kita usahakan,” jawab Marjun. “Aku mempunyai cara yang lebih baik lagi.”

Kaimu lah yang pertama menyambut, “Ceritakanlah rencana itu kepada kami, kakak!”

Marjun menunjuk dengan pipanya ke arah Selatan ke arah kampung Sawi yang disebut Kangae. “Orang-orang Kangae,” katanya pelan-pelan. “masih bersaudara dengan para pembunuh bapak Kagura. Bahkan mereka mempunyai beberapa teman di antara penduduk ujung kampung kita. Bukankah itu membuka jalan bagi kita?”

Ketiga pendengarnya tersenyum licik menanggapi ke mana arah pikiran yang sudah jelas itu, tetapi kemudian Yosin dengan mengernyitkan dahinya bertanya, “bagaimana caranya kita menyuruh mereka datang?’

“Kita akan mengumumkan suatu pesta tari-tarian semalam suntuk dan mengirimkan undangan kepada mereka,” jawab Marjun enteng.

“Tetapi siapakah yang akan membawa undangan itu kepada mereka? Memang orang kaum Kangae berteman dengan orang Wasohwi, tetapi mereka tidak biasa berkunjung ke sana. Lagipula pasti mereka menolak untuk bekerja sama dalam hal ini!”

“Saudara-saudara kita dari kaum Kangae tidak boleh mengetahui sesuatu tentang hal ini!” kata Marjun dengan tegas. “Kita harus membiarkan mereka menyangka ini undangan yang sungguh-sungguh. Jika mereka sudah melihat mayat kawan-kawan mereka dari Wasohwi tergolek, mereka akan mengerti sendiri.”

“Lalu siapa yang akan pergi untuk mengundang orang-orang yang kita incar itu datang kepada kita?” tanya Yosin penuh selidik.

“Kamu lupa.” Kata Marjun lambat-lambat, “Seorang anggota keluarga kita mempunyai ikatan kekeluargaan dengan Warsohwi melalui ibunya, sehingga ia bebas kekeluargaan dengan Warsohwi melalui ibunya, sehingga ia bebas berkunjung ke sana?”

Ketiga pendengarnya bersuit keheranan. “Pasti yang kau maksud itu Kiten,” seru Maum, “Bagaimana mungkin kamu membujuk dia untuk menghianati kerabat ibunya sendiri?”

Marjun telah siap dengan jawaban yang telah direncanakan lama sebelumnya. “Memang tidak ada jalan untuk membujuk Kiten melakukan hal ini,” katanya secara terus-terang, lalu ditambahkannya secara berbisik-bisik, “tetapi ada jalan untuk memaksa dia.” Setelah hening sejenak, ia melanjutkan. “Seseorang harus mengenakan ikatan waness kepadanya. Maka ia akan melakukan apa yang kita kehendaki.”

Para pendengar terbelalak karena kagum, kemudian bersuit tanda kagum. Pernahkan seseorang mengusulkan tentang itu? Yaitu menggunakan adat kuno, waness, untuk memaksa seseorang menghianati kerabat ibunya sendiri?

Maun, Kaimu, dan Yosin menyadari bahwa Marjun sedang memperkembangkan adat penghianatan yang kuat pada orang Sawi itu secara halus sekali, melebihi karya nenek moyang mereka yang paling pandai sekalipun. Ini berarti Marjun menjadi pencipta legenda yang ulung dan sekarang mereka diikutsertakan untuk mewujudkan legenda baru itu.

Ketiga orang itu begitu terpukau oleh keunikan usulan Marjun, meskipun keunikannya sangat tergantung pada hasil rencana ini. Memang sudah lama berselang sejak Mauro dari kaum Warsohwi mengalahkan kaum Haenam secara menyedihkan, memanah Kagura serta memakan ketiga temannya. Mungkin orang Wasohwi sendiri sudah lama melupakan kejadian tersebut. Kalaupun belum, mereka tidak akan meyangka bahwa kerabat Kagura masih ingin membalas dendam terhadap Mauro melalui persekutuan gelap melawan Wasohwi. Mereka merasa pasti bahwa teman-teman mereka dari kaun Kangae di Haenam akan memberitahukan tiap bahaya yang mengancam orang Wasohwi. Dan di daerah Haenam dapat mengandalkan Kiten sebagai pelindung mereka. Pasti mereka akan menerima undangan yang disampaikan oleh Kiten secara pribadi. Tidak ada sesuatupun dalam legenda orang Sawi yang mempertimbangkan akan kemungkinan seseorang menghianatai kerabat ibunya sendiri.

Usul utama rencana ini ialah menggunakan adat kuno, waness, untuk memaksa Kiten memberikan bantuannya. Ketiga pendukung itu ingin sekali mengetahui gagasan Marjun bagaimana ia akan melaksanakan ini sebaik-baiknya.

“Kakak ceritakanlah kepada kami, siapakah di antara kami kau rencanakan untuk mengenakan ikanan waness kepada Kiten?” Maum bertanya penasaran dengan rencana Marjun.

Marjun tersenyum bangga, karena mudah sekali mereka masuk ke dalam perangkapnya. Kini Marjun menguasai sepenuhnya perhatian mereka. Dengan hati-hati dan berbisik-bisik ia menjelaskan semua rencananya.

***

N

amun kini, Kamumi telah begitu merendahkan diri di hadapan Marjun dengan memakan sagu panggang yang telah tersentuh alat vital Marjun dan sekaligus melepas budi yang sangat besar kepada Marjun. Apalagi ia mertuanya. Betapa gusarnya Marjun, rencana yang disusun beserta ketiga temannya telah didahului Kamumi kepada dirinya sendiri.

Hanya ada satu cara bagai Marjun untuk membalas budi Kamumi, ia harus melakukan apa saja yang diinginkan Kamumi apapun resikonya. Jika tidak Kamumi akan menanggung malu selama-lamanya. Secara adat, masyarakat akan merasa terhina oleh Marjun. Tentu Kamumi punya permintaan yang luar biasa sehingga menggunakan waness untuk mencapai tujuannya.

“Apa yang ibu kehendaki?” Marjun bertanya dengan wajah lesu.”

“Lakukanlah perdamaian dengan kampung sebelah!” jawab Kamumi tua tidak kalah lesunya.

“Apa ibu?” Marjun merasa tidak percaya dengan pendengarannya. “Apa yang ibu minta barusan?” tanyanya sekali lagi.

“Lakukanlah perdamaian dengan kampung sebelah!” Kamumi mengulang jawaban dengan dingin.

“Ibu… apakah ibu tidak salah bicara… apakah ibu sudah lupa dengan kematian bapak Kagura,” suara Marjun meninggi tetapi masih cara yang sopan. Ia kembali berkata, “Ibu sudah lupa kalau kepala ibu masih dicukur habis? Kita harus melakukan pembalasan ibu… pembalasan bukan perdamaian. Arwah bapak Kagura masih menunggu disempurnakan untuk menuju alam safar. Kita harus melakukan pengayauan untuk menyempurnakan arwah bapak.” Marjun terengah-engah menahan amarah dan emosi yang meluap saat mengenang kematian mertuanya Kagura ditombak Mauro dari kaum Warsohwi.

“Ibu lihatlah! Topeng ifi sudah aku buat dengan sempurna, wo ipit pun telah membuatkan patung arwah” Marjun menunjuk topeng yang tergeletak di sudut tsjewi, di samping topeng ifi tergeletak patung yang mirip wajah Kagura yang menonjolkan tsjemen lambang keberanian dan pembunuh musuh.

“Ibu Kamumi, roh-roh nenek moyang menanti kita menuntut balas. Roh-roh yi-ow di hutan sagu, danau dan sungai akan murka. Kita akan kehilangan ikan-ikan dan binatang buruan. Roh ozbopan pasti mengutuk keluarga kita,” sesak dada Marjun mengingat mertuanya telah gegabah mengambil putusan.

Kamumi menunduk dalam-dalam, tetes air matanya membasahi pipi keriput dimakan usia. Ia usap perlahan dengan tangan kanan kasar dan hitam oleh arang. Tentu ia tidak akan pernah melupakan peristiwa memilukan saat suaminya merangkak menaiki anak tangga rumahnya dengan panah tertancap dipunggung. Sambil mengerang kesakitan, Kagura berusaha menaiki anak-anak tangga rumah yang berjumlah 20 titian. Rupanya Kagura berhasil melarikan diri dari kejaran musuh dengan kondisi terluka parah. Walau akhirnya, Kagura meregang nyawa di depan pintu tsjewi. Kagura meninggal kehabisan darah yang terus menyembur dari luka-lukanya.

Kamumi dilanda keraguan yang menyesakan dada, menghentak-hentak naluri seorang istri, darahnya terasa mengalir deras menuju jantung lewat urat-urat syarafnya. Ditatapnya patung arwah Kagura yang belum sempurna menuntut balas. Perlu ia sempurnakan dengan kepala musuh yang terkayau, perlu disempurnakan dengan darah musuh. Badannya menggigil hebat menahan semua perasaan yang entah apa. Kamumi tidak sanggup menerjemahkannya. Pikirannya terlalu amat sederhana.

Waness … aku telah melepas budi padamu Marjun.” Katanya melemah dan semua menjadi terang. Ia tidak ingat apa yang telah ia katakan. Kamumi tidak menyadari kalau dia lah pencipta perubahan dan pencipta legenda baru di Sawi.

*****

Keterangan:

Kaum Sawi : salah satu bagian dari suku Asmat di sekitar Firimapu, yang memiliki budaya kanibalisme dengan mengayau musuh-musuhnya. Mereka memiliki filsafat digemukan untuk dikayau.

Budaya ini telah hilang sejak munculnya para zending dan misionaris yang mereka sebut Tuan-tuan sekitar tahun 1960-an.

Waness : adat orang Sawi untuk memaksa kerabatnya melakukan apapun dengan cara merendahkan diri.

Caranya, memakan sagu bakar yang telah ditempelkan kepada alat kelamin orang tersebut.

Tuwi asonai man: Pemaksaan kehendak melalui waness

Sudafen : Kalung dari taring babi, yang menjadi ciri khas bahwa pemakainya seorang pemburu ulung.

Boyir : perapian milik klen yang biasanya berada di tengah-tengah rumah jeu yang memisahkan Sawi hilir dan Sawi Udik.

Jeu : Rumah panjang yang dibuat untuk laki-laki. Disebut juga rumah bujang tempat laki-laki Asmat berkumpul merencanakan peperangan dan perdamaian.

Setiap kaum atau klean di Asmat memiliki rumah jeu sendiri-sendiri yang dibangun di tepi sungai.

Pemimpin aipem: pimpinan kampong

Wow ipits : seniman pemahat patung

Po : sayung

Ocen : tombak

Yemes : perisai

An : nampan yang terbuat dari daun sagu

Ifi : topeng keluarga tempat roh bersemayam

Tere : motif ukiran kelelawar

Worotamo : motif ukiran pohon beringin

Far : motif kupu-kupu

Vir : motif tali perut ikan

Tsjemen : alat vital laki-laki pada patung roh nenek moyang

Awer : pakaian wanita yang berbentuk rok terbuat dari rumput

Tsjewi : rumah tempat tinggal keluarga batih. Rumah keluarga yang biasanya didiami oleh satu keluarga inti yang terdiri dari seorang ayah, seorang atau beberapa orang istri, dan anak-anak mereka. Setiap istri memiliki dapur, pintu dan tangga sendiri.

Jowse : perapian pusat dalam kelompok kecil

Bipane : hiasan hidung yang menembus sekat hidung yang terbuat dari dari babi atau siput.

Piswa : pisau dari tulang kaki kasuari

Carawan : pisau yang terbuat dari rahang buaya

Yi-ow : roh penjaga hutan-hutan sagu, danau-danau dan sungai-sungai yang penuh ikan dan hutan-hutan yang penuh binatang buruan.

Ozbopan : roh penghuni beberapa jenis pohon tertentu, gua-gua yang dalam, batu-batu besar yang mempunyai bentuk khusus.

Tidak ada komentar: